Begitu banyak petuah tentang kehidupan yang dituturkan dari mulut ke mulut secara turun temurun. Konon, ada empat hal yang telah menjadi ketetapan manusia yang mereka katakan sebagai takdir. Jodoh, pertemuan, kematian dan rejeki.
Takdir jugalah yang menyebabkan Borno bertemu gadis manis sendu menawan yang menumpang sepitnya pagi itu. Tak pernah sekalipun Borno berpikir jika akhirnya mengemudikan sepitlah yang menjadikan penopang hidup. Setelah pada usia dua belas tahun ditinggal Bapak yang tewas karena tersengat bisa ubur-ubur, Borno hidup hanya dengan Ibu. Wasiat Bapak sebelum ia meninggal hanya melarang Borno mengemudikan sepit yang benar-benar dipegang teguh oleh Borno.
Selepas SMA untuk membantu meringankan beban Ibu, Borno bermaksud bekerja walau hanya dengan bekal ijazah SMA dan tekad ak masuk akalyang kuat. Berbagai pekerjaan dilakoninya hingga menjadi penjaga karcis di pelabuhan feri, yang membuat bang Togar, tetangga sekaligus Ketua Paguyuban Pengemudi Sepit Kapuas Tercinta berang dan mengeluarkan ultimatum yang melarang pengemudi sepit lain mengantar Borno ke seberang sungai. Idealisme akhirnya mengantarkan Borno pada keputusan untuk berhenti menjadi petugas penjaga karcis. Ia pun hanya kerja serabutan.
"Sepanjang kau mau bekerja, kau tidak bisa disebut pengangguran. Ada banyak anak muda berpendidikan di negeri ini yang lebih senang menganggur dibandingkan bekerja seadanya. Gengsi, dipikirnya tidak pantas yang ia punya. Itulah kenapa angka pengangguran kita tinggi sekali, padahal tanh dan air terbentang luas." (Pak Tua - p. 49)
Tak betah melihat Borno kerja serabutan, Ibu, Pak Tua, Koh Acong, Cik Tulani, berusaha membujuk Borno agar menjadi pengemudi sepit. Dengan berat hati Borno melanggar wasiat Bapak seraya meneguhkan hati untuk menjadi orang yang baik dan senantiasa bekerja keras, meski hanya menjadi pengemudi sepit.
Setelah melewati "ospek" ala Bang Togar yang sangat tidak masuk akal, Borno pun resmi menjadi pengemudi sepit. Di penghujung hari, ia mendapati sepucuk surat bersampul merah, dilem rapi, tanpa nama yang tergeletak di bawah papan melintang bangku paling depan. Borno hanya ingat orang yang duduk di bangku paling depan adalah seorang gadis manis berwajah sendu menawan.
Mei, gadis manis berwajah sendu menawan itu pun menjadi penumpang tetap sepit Borno. Sepit yang selalu antri pada urutan ke tiga belas. Namun mendadak Mei menghilang tanpa kabar. Borno menemukannya berbulan-bulan kemudian di Surabaya bersama Pak Tua.
Lagi-lagi ini menjadi urusan takdir. Tak hanya Mei gadis muda yang dikenal Borno. Saat mengantar Andi sahabat kental sejak dari buaian ke praktek dokter gigi, Borno mengenalnya. Sarah, gadis yang ternyata memegang erat cerita masa lalu yang berkaitan dengan jalan hidup Borno sekarang. Namun ternyata tak hanya Sarah yang berkaitan dengan masa lalu Borno. Mei, gadis sendu menawan yang tanpa permisi menempati hati Borno pun punya kisah di masa lalu Borno. Takdir memang punya cara merangkai cerita panjang kehidupan satu dengan yang lain dalam jalinan jodoh, pertemuan, maut dan rejeki.
Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah adalah sebuah cerita sederhana tentang takdir dan hidup yang terus mengalir maju, Tak ubahnya seperti Sungai Kapuas yang mengalir dari hulu ke hilir. Sungai yang terletak di provinsi Kalimantan Barat ini menjadi lokasi penting dalam cerita jelas tak asing bagi hampir seluruh rakyat di negeri ini. Namun tak banyak yang tahu, jika Pontianak, ibu kota Kalimantan Barat yang dilalui garis imajiner yang memisahkan bumi menjadi dua bagian ini mendapatkan namanya dari sebuah legenda tentang penaklukan makhluk halus yang dilakukan Sultan Abdurrahman Alqadrie (p. 165)
Dengan alur cerita yang maju mundur serta pemakaian sudut pandang orang pertama, dalam hal ini Borno dapat lebih memahami karakter Borno, pemuda yang diklaim memiliki hati paling lurus di sepanjang tepian sungai Kapuas yang begitu konsisten menjaga kelurusan hatinya. Menghormati orang berumur jauh diatasnya, sayang pada teman sebaya, dan menghormati wanita.
"Itu tidak disengaja, bodoh." Aku melotot. Enak saja, aku tidak akan merendahkan kehormatan wanita dengan memegang tangannya." (p.117)
Pak Tua, sosok tua yang bijaksana itu pun punya segudang pesan hidup yang disampaikannya dalam setiap perjumpaannya dengan Borno namun tak pernah terkesan menggurui.
"Camkan, bahwa cinta itu adalah perbuatan. Nah, dengan demikian, ingat baik-baik, kau selalu bisa memberi tanpa sedikit pun rasa cinta. Tapi kau tidak akan pernah bisa mencintai tanpa selalu memberi." (p. 168)
"Tidak usahlah kau gulana, wajah kusut. Jika berjodoh, Tuhan sendiri yang akan memberi jalan baiknya. Kebetulan yang menakjubkan. Jika sampai pulang ke Pontianak kau tidak bertemu dengan gadis itu, berarti bukan jodohmu. Sederhana bukan." (p. 194)
Tokoh-tokoh baik tokoh utama maupun tokoh pendamping yang berbeda karakter dan suku seperti menjadi gambaran akan keanekaragaman yang dimiliki Indonesia. Bahkan suku pedalaman Kalimantan yaitu suku Dayak dengan segala macam mitos tentang kekejaman mereka pun mendapat porsi di buku ini. Meski dari asal yang berbeda namun mereka semua menjadikan Pontianak sebagai rumah dan kampung halaman yang mereka kenal.
"Walau tiga suku bangsa ini punya kampung sendiri, kampung Cina, kampung Dayak, dan kampung Melayu, kehidupan di Pontianak berjalan damai. Cobalah datang ke salah satu rumah makan terkenal di Pontianak, kalian dengan mudah akan menemukan tiga suku ini akan berbual, berdebat, lantas tertawa-bahkan saling traktir. 'Siapa disini yang berani bilang Koh Acong bukan penduduk asli Pontianak?' demikian Pak Tua bertanya takzim." (p. 195)
Ide cerita yang sederhana namun sarat akan makna yang disampaikan dalam petuah-petuah bijak, lokasi cerita yang tak biasa dan pasti akan membuat penasaran para pembaca yang belum pernah datang ke Pontianak terhadap kota dengan tugu Khatulistiwa dan sungai Kapuasnya itu. Bahkan sampul depan dengan sosok gadis yang sendu menawan dengan dominasi warna merah sangat tepat akan sosok Mei.
Sayang adegan meninggalnya Bapak yang kemudian diikuti dengan tindakan operasi transplantasi jantung terasa ganjil. Setidaknya bagi para pembaca yang mengerti atau berprofesi dalam dunia medis. Tindakan operasi transplantasi jantung adalah operasi besar sekaligus rumit. Tindakan itu hanya dapat dilakukandi rumah sakit dengan fasilitas bedah lengkap yang mampu melaksanakan tindakan transplantasi jantung, memiliki ruang rawat intensif (ICU) terpadu serta didukung tenaga medis yang berkompeten di bidangnya. Donor serta resipien (penerima) transplantasi organ sebelumnya pun juga harus menjalani serangkaian panjang tes.
Judul : Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah
Penulis : Tere Liye
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 512 halaman
Kategori : Contemporary Romance
ISBN: 978-979-22-7913-9
Judul : Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah
Penulis : Tere Liye
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 512 halaman
Kategori : Contemporary Romance
ISBN: 978-979-22-7913-9
Buku ini pernah jadi incaran saya pada saat awal-awal terbit. Dan syukur terkabul untuk memilikinya.
ReplyDeleteSaya merasa bercermin pada sosok Borno. Ternyata hidup itu susah. Tapi Borno menunjukkan kekuatannya dalam keadaan apapun. Saya juga terkesan dengan pesannya lho, untuk menyayangi orang yang lebih tua. Borno kan sayang banget sama Pak Tua-nya...
Alurnya juga saya suka. Dan adegan yang paling saya sukai itu, pas Borno malu-malu dan ragu perihal angpao merah itu. ngegemesin tauk!!