“Berapa lama kau akan menungguku, Henry?”
“Selama yang dibutuhkan…”
“Bagaimana kalau aku tetap di sini sampai tua dan ubanan—”
“Kalau begitu aku akan membawakanmu tongkat.”
Henry dan Keiko adalah korban perang Amerika-Jepang (1942). Mereka lahir dan tumbuh di Amerika, dalam masa perang tersebut. Henry adalah anak keturunan China, sementara Keiko keturunan Jepang. Persahabatan mereka, yang diwarnai cinta remaja, terpaksa berakhir karena kondisi yang tidak memungkinkan.
Empat puluh tahun kemudian, Henry, yang baru kehilangan istri tercintanya, tergugah untuk mencari benda peninggalan Keiko di sebuah hotel yang menjadi ciri khas kota Seattle, sekaligus tempat penyimpanan benda-benda keluarga Jepang di masa perang. Akankah pencarian ini akhirnya membuat Henry menemukan jawaban atas penantiannya di masa lalu?
“Selama yang dibutuhkan…”
“Bagaimana kalau aku tetap di sini sampai tua dan ubanan—”
“Kalau begitu aku akan membawakanmu tongkat.”
Henry dan Keiko adalah korban perang Amerika-Jepang (1942). Mereka lahir dan tumbuh di Amerika, dalam masa perang tersebut. Henry adalah anak keturunan China, sementara Keiko keturunan Jepang. Persahabatan mereka, yang diwarnai cinta remaja, terpaksa berakhir karena kondisi yang tidak memungkinkan.
Empat puluh tahun kemudian, Henry, yang baru kehilangan istri tercintanya, tergugah untuk mencari benda peninggalan Keiko di sebuah hotel yang menjadi ciri khas kota Seattle, sekaligus tempat penyimpanan benda-benda keluarga Jepang di masa perang. Akankah pencarian ini akhirnya membuat Henry menemukan jawaban atas penantiannya di masa lalu?
^^^^^^^^^
Beberapa tahun yang lalu saya pernah membaca Chicken Soup for Lover Soul. Dari sekian banyak cerita, ada sebuah kisah tentang persahabatan di saat Nazi menguasai Jerman. Dikisahkan ada seorang anak laki-laki yang selalu berdiri di samping pagar tinggi yang membatasi antara kamp konsentrasi dan dunia luar. Setiap hari menjelang makan siang anak laki-laki itu dikunjungi oleh seorang anak perempuan yang selalu membawakannya sebutir apel merah. Terkadang mereka saling sapa kadang hanya tersenyum. Suatu ketika anak laki-laki itu berkata "Besok jangan bawakan aku apel lagi. Karena aku akan dipindahkan." setelah mengatakan hal itu dia langsung berlari meninggalkan anak perempuan tersebut dan menangis setelahnya.
Saya begitu teringat pada cerita tersebut sewaktu membaca Hotel on the Corner of Bitter and Sweet ini. Cinta dalam sebuah persahabatan yang tumbuh ditempat yang bahkan tidak terduga sekalipun. Pada tahun 1942, Henri, seorang anak laki-laki keturunan China yang lahir dan besar di Amerika Serikat. Dibawah didikan sang Ayah yang sangat nasionalis dan membenci Jepang seumur hidupnya, karena menganggap Jepang telah mengambil alih dan memporak porandakan tanah leluhurnya di China, Henri dilarang untuk bergaul dengan siapapun yang berdarah Jepang.
Untuk menjadikan Henri sosok yang Amerika, Ayahnya melarang untuk berbahasa Kanton di rumah, menyekolahkan Henri di sekolah kulit putih, dan menyuruh Henri memakai bros "Aku Orang China" sebagai pembeda yang cukup jelas akan sosoknya yang keturunan China bukan Jepang. Namun ternyata, takdir punya jalannya sendiri. Justru di sekolah yang dianggap sang Ayah Henri tak akan bertemu dengan anak-anak berdarah Jepang, Henri bertemu dengan Keiko. Keiko adalah seorang anak perempuan keturunan Jepang yang lahir dan besar di Amerika. Dia bahkan tak bisa sama sekali berbahasa Jepang.
Persahabatan itu berlangsung tanpa sepengetahuan Ayah Henri, namun kedua orangtua Keiko menerima kehadiran Henri dengan besar hati. Saat terjadinya peristiwa pengeboman Pearl Harbor, warga keturunan Jepang yang ada di Amerika Serikat pun menjadi pesakitan. Mereka terpaksa meninggalkan harta benda mereka dan mengungsi ke beberapa kamp yang telah disediakan. Diantara rombongan yang mengungsi itu termasuk keluarga Keiko. Selama beberapa waktu Henri bertemu dengan Keiko di kamp pengungsian dengan bantuan Sheldon, seorang musisi jazz berkulit hitam dan Mrs. Beatty penjaga kantin di sekolah Henri. Ketika kunjungan-kunjungan itu tak mungkin lagi dilakukan, mereka pun bertemu melalui surat. Akhirnya surat-surat itu pun perlahan-lahan menghilang oleh karena keadaan yang memaksa, dan semua tentang Keiko, kencan pertama mereka, lagu jazz mereka, tersimpan di benak Henri dan di ruang bawah tanah Hotel Panama.
Empat puluh tahun kemudian, tepatnya tahun 1984, Henri berdiri di depan Hotel Panama sedang mengalami pembongkaran di lantai bawah tanahnya. Di saat itulah ia melihat kembali payung Jepang, terbuat dari bambu, merah terang dan putih dengan ornamen lukisan koi, ikan gurame yang mirip ikan mas raksasa. Payung yang mengembalikan ingatannya akan masa-masa perang dan cinta pertamanya.
^^^^^^^^^
Pahit sekaligus manis, tepat sesuai judulnya. Begitulah cita rasa buku ini. Tak hanya bicara tentang cinta sepasang anak manusia, ada juga tentang bakti kepada orang tua dalam hubungan Henri dan kedua orang tuanya maupun Henri dengan Marty putra semata wayangnya. Juga tentang kepatuhan istri terhadap suami seperti yang ditunjukkan ibu Henri terhadap suaminya, dan tentang rasa nasionalisme, rasa memiliki tanah air tempat hidup dan mengabdi meskipun tak mempunyai darah yang sama dengan yang lain.
Mengambil setting rentang waktu yang sangat jauh berbeda, 1942 saat terjadinya Perang Dunia ke II dan 1984 masa sekarang yang relatif lebih tenang adalah kelebihan novel ini. Dengan rentang waktu itu pembaca dapat melihat bagaimana waktu dan masa lalu membentuk kepribadian seseorang. Bukankah peristiwa masa lalu yang membentuk sosok manusia di masa kini? Sebuah pesan sederhana tentang bagaimana kehidupan harus terus berjalan meski terkadang masa lalu datang kembali menghantui masa kini.
Bicara tentang cover, saya lumayan suka dengan cover terbitan Matahati ini. Payung berwarna pink dengan lukisan ikan koi dan guguran bunga Sakura di bagian depan cover dan pohon Sakura yang sedang berbunga di bagian belakang cover. Seolah-olah menggambarkan suasana musim semi dimana bunga-bunga Sakura terbang tertiup angin. Tapi, saya jauh lebih menyukai cover terbitan Ballantine Books. Terasa lebih syahdu dengan sosok laki-laki berpayung berdiri memandang ke laut lepas.
Ohya, Hotel Panama yang memang menjadi titik sentral dalam buku ini, sampai kini masih berdiri tegak di Seattle. Hotel yang berdiri pada 1910 oleh seorang arsitek berkebangsaan Jepang bernama Sabro Ozasa saat ini menawarkan Historical - Educational Tours kepada pada pengunjungnya, dengan fokus utama pada Tea House yang menampilkan foto-foto tempo dulu keadaan hotel tersebut. Hotel ini semakin dikenal sejak namanya masuk dalam buku Hotel on the Corner of Bitter and Sweet. (disarikan dari sini, sini, dan sini)
Sang pengarang sendiri, Jamie Ford adalah seorang warga Amerika Serikat keturunan China yang sama sekali tak mampu berbahasa China. Di situs resminya, Jamie Ford menyelipkan beberapa foto yang menginspirasinya dalam menulis Hotel on the Corner of Bitter and Sweet. Ada foto Nihonmachi, kamp Minidoka, gadis kecil yang sedang menunggu untuk diberangkatkan ke kamp, Oscar Holden, bahkan plang di depan toko-toko Jepang yang menyatakan pemiliknya seorang Amerika.
PS : buku ini masuk dalam Posting Bersama Blogger Buku Indonesia dengan tema Buku Matahati yang posting bersama pada 25 April 2012.
Pic taken from here |
Pic taken from here |
Sang pengarang sendiri, Jamie Ford adalah seorang warga Amerika Serikat keturunan China yang sama sekali tak mampu berbahasa China. Di situs resminya, Jamie Ford menyelipkan beberapa foto yang menginspirasinya dalam menulis Hotel on the Corner of Bitter and Sweet. Ada foto Nihonmachi, kamp Minidoka, gadis kecil yang sedang menunggu untuk diberangkatkan ke kamp, Oscar Holden, bahkan plang di depan toko-toko Jepang yang menyatakan pemiliknya seorang Amerika.
Penulis : Jamie FordPenerbit : MatahatiKategori :Historical Fiction, Young AdultISBN : 9786029625561Rating : untuk kisah pahit namun manis ini.